Mengenai Saya

Foto saya
Sabang, Aceh, Indonesia
Jekso Ronggo Ardhi, S.H. (Kasubbag) Aglamau Dudi Alexander, S.H. (Staf) Iskandar Zulkarnaen, S.H. (Staf)

Kamis, 19 Januari 2012

Tersangka Korupsi Persoalkan Kewenangan Jaksa Menyidik

Aturan kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dipersoalkan seorang tersangka korupsi dengan menguji Pasal 30 ayat (1) berikut penjelasannya UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon adalah Djailudin Kaisupy, seorang PNS Pemda Seram Barat, Maluku yang kini tengah diproses Kejaksaan Tinggi Maluku lantaran diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
 
“Jaksa yang mempunyai kewenangan sebagai penuntut umum dan merangkap kewenangan selaku penyidik dalam menangani dugaan kasus korupsi seperti dialami pemohon dan para tersangka lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan melampaui kewenangan,” kata kuasa pemohon Anthoni Hatane dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Rabu (18/1).  
 
Pasal 30 ayat (1) huruf d selengkapnya berbunyi, Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang... d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
 
Penjelasannya dinyatakan kewenangan ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Anthoni menjelaskan Pasal 30 ayat (1) huruf d itu telah memberi kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu. Padahal dalam Pasal 1 ayat (6) UU Kejaksaan dan Pasal 13 dan 14 KUHAP kedudukan jaksa adalah sebagai penuntut umum. Hal ini sangat jelas menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum tentang kewenangan jaksa apakah selaku penyidik atau penuntut umum.    
 
“Ini telah mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif karena seorang tersangka seperti pemohon diperiksa dan dituntut oleh orang yang sama, sehingga penanganan perkara tindak pidana khusus (korupsi, red) tidak optimal,” kata Anthoni.
 
Menurutnya, Pasal30 ayat (1) huruf d itu tidak proporsional dan berlebihan yang bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.   
 
“Jika pasal itu terus digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi disalahgunakan seperti yang dilakukan Kejati Maluku yang menyebabkan pemohon mengalami kerugian konstitusional yang dijamin dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
 
Karena itu, pemohon meminta MK agar Pasal 30 ayat (1) huruf d dan penjelasannya UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “
 
Menanggapi permohonan, Fadlil mengkritik permohonan yang menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, tidak proporsional, dan melampaui kewenangannya. Padahal, pasal itu secara tegas memberi kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.
 
”Seharusnya Saudara menguraikan letak tidak proposionalnya pasal itu dimana? Saudara juga harus menguraikan mengapa penyidik yang merangkap penuntut umum dianggap merugikan hak konstitusional klien Saudara,” sarannya.
 
Selain itu, Saudara juga perlu melihat pengujian pasal ini yang pernah diputus MK. “Dulu pernah ada pengujian pasal ini, Saudara bisa lihat bagaimana putusannya di bagian publikasi putusan sebagai bahan permohonan ini,” kata Fadlil.
 
Sementara Muhammad Alim mengingatkan bahwa permohonan mesti cermat dan hati-hati dalam merumuskan permohonan ini. Sebab, ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan ini merupakan aturan lex spesialis (khusus) yang sengaja dibuat pembentuk undang-undang.
 
“Misalnya, aturan sanksi pidana anak dengan mengembalikan kepada orang tuanya dalam UU Pengadilan Anak merupakan lex spesialis yang tidak ditemukan dalam KUHP dan ini dibenarkan,” ujarnya mengingatkan. 
 
Selanjutnya, majelis panel memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari kerja.    

'Pasal 30 ayat (1) huruf d itu telah memberi kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar