Mengenai Saya

Foto saya
Sabang, Aceh, Indonesia
Jekso Ronggo Ardhi, S.H. (Kasubbag) Aglamau Dudi Alexander, S.H. (Staf) Iskandar Zulkarnaen, S.H. (Staf)

Kamis, 19 Januari 2012

Batas Waktu Penyelesaian Perkara di Kepolisian

Sumber diketahui adanya suatu Tindak Pidana bisa diketahui melalui: Laporan, atau Pengaduan, atau tertangkap tangan.

Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Berbeda dengan pengaduan, pemberitahuan laporan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana yang diberitahukan, sehingga laporan bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristiwa pidana, dan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor. Walaupun jika pada akhirnya terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan, penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan.   

Adapun pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan Tindak Pidana (“TP”) aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP).  Pengaduan yang bersifat khusus, hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan, apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.

Tertangkap Tangan, menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan TP atau tengah melakukan TP dipergoki oleh orang lain, atau dengan segera sesudah beberapa saat TP dilakukan.

Mengenai pertanyaan tentang apakah ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan tersebut, maka jawabannya adalah tidak ada.  Akan tetapi, terdapat Peraturan Kapolri No. 12 Tahun  2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI (“Perkap No. 12 Tahun 2009”), yang mengatur mengenai batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebagai berikut:

1.      Pertama kali terkait batas waktu menyerahkan Laporan yang dibuat di Sentra Pelayanan Kepolisian, yakni.

Pasal 11
(1) Laporan Polisi yang dibuat di SPK WAJIB segera diserahkan dan harus sudah diterima oleh Pejabat Reserse yang berwenang  untuk mendistribusikan  laporan paling lambat 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi dibuat. 
(2)Laporan Polisi yang telah diterima oleh pejabat reserse yang berwenang
(3)Laporan Polisi sebagaimana dimaksud, selanjutnya HARUS sudah disalurkan keapda penyidik yang ditunjuk untuk melaksanakan penyidikan perkara paling lambat 3 (tiga) haris sejak Laporan Polisi dibuat.

Pasal 18: Terhadap perkara yang merupakan sengketa antara pihak yang saling melapor kepada kantor polisi yang berbeda, penanganan perkaranya dilaksanakan oleh kesatuan yang lebih tinggi atau kesatuan yang dinilai paling tepat dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.

2.      Proses berikutnya setelah laporan adalah kegiatan penyelidikan dan batas waktu melaporkan hasil penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 26 Perkap No. 12 Tahun 2009, sebagai berikut:

(1) Penyelidik yang melakukan kegiatan penyelidikan wajib melaporkan hasil penyelidikan secara lisan atau tertulis kepada atasan yang memberi perintah pada kesempatan  pertama.

(2) Hasil penyelidikan secara tertulis dilaporkan dalam bentuk LHP paling lambat 2(dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan kepada pejabat yang memberikan perintah.

3.      Proses setelah laporan hasil penyelidikan adalah melakukan tindakan penyidikan.  Pasal 33 dan Pasal 34 Perkap No. 12 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Setiap tindakan penyidikan wajib dilengkapi surat perintah Penyidikan.  Penyidik yang telah mulai melakukan tindakan penyidikan wajib membuat SPDP.”

4.      Perkap No. 12 Tahun 2009 selanjutnya mengatur mengenai batas waktu penyelenggaraan penyidikan sebagai berikut:

Pasal 31
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
a.      120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit
b.      90 hari untuk penyidikan perkara sulit
c.      60 hari untuk penyidikan perkara sedang
d.      30 hari untuk penyidikan perkara mudah

 (3) Dalam menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan. 
 (4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Pasal 32: 
 (1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas penyidik.

5.      Dalam hal kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, maka Pelapor atau saksi dapat mengajukan surat pengaduan atas hal tersebut kepada atasan Penyelidik atau Penyidik atau badan pengawas penyidikan, agar dilakukan koreksi atau pengarahan oleh atasan penyelidik/penyidik yang bersangkutan.

Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah:
1.      Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia;
2.      Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
3.      Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di Lingkungan Kepolisisan Negara Republik Indonesia 

Tersangka Korupsi Persoalkan Kewenangan Jaksa Menyidik

Aturan kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dipersoalkan seorang tersangka korupsi dengan menguji Pasal 30 ayat (1) berikut penjelasannya UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon adalah Djailudin Kaisupy, seorang PNS Pemda Seram Barat, Maluku yang kini tengah diproses Kejaksaan Tinggi Maluku lantaran diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
 
“Jaksa yang mempunyai kewenangan sebagai penuntut umum dan merangkap kewenangan selaku penyidik dalam menangani dugaan kasus korupsi seperti dialami pemohon dan para tersangka lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan melampaui kewenangan,” kata kuasa pemohon Anthoni Hatane dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Rabu (18/1).  
 
Pasal 30 ayat (1) huruf d selengkapnya berbunyi, Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang... d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
 
Penjelasannya dinyatakan kewenangan ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Anthoni menjelaskan Pasal 30 ayat (1) huruf d itu telah memberi kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu. Padahal dalam Pasal 1 ayat (6) UU Kejaksaan dan Pasal 13 dan 14 KUHAP kedudukan jaksa adalah sebagai penuntut umum. Hal ini sangat jelas menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum tentang kewenangan jaksa apakah selaku penyidik atau penuntut umum.    
 
“Ini telah mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif karena seorang tersangka seperti pemohon diperiksa dan dituntut oleh orang yang sama, sehingga penanganan perkara tindak pidana khusus (korupsi, red) tidak optimal,” kata Anthoni.
 
Menurutnya, Pasal30 ayat (1) huruf d itu tidak proporsional dan berlebihan yang bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.   
 
“Jika pasal itu terus digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi disalahgunakan seperti yang dilakukan Kejati Maluku yang menyebabkan pemohon mengalami kerugian konstitusional yang dijamin dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
 
Karena itu, pemohon meminta MK agar Pasal 30 ayat (1) huruf d dan penjelasannya UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “
 
Menanggapi permohonan, Fadlil mengkritik permohonan yang menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, tidak proporsional, dan melampaui kewenangannya. Padahal, pasal itu secara tegas memberi kewenangan kepada jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.
 
”Seharusnya Saudara menguraikan letak tidak proposionalnya pasal itu dimana? Saudara juga harus menguraikan mengapa penyidik yang merangkap penuntut umum dianggap merugikan hak konstitusional klien Saudara,” sarannya.
 
Selain itu, Saudara juga perlu melihat pengujian pasal ini yang pernah diputus MK. “Dulu pernah ada pengujian pasal ini, Saudara bisa lihat bagaimana putusannya di bagian publikasi putusan sebagai bahan permohonan ini,” kata Fadlil.
 
Sementara Muhammad Alim mengingatkan bahwa permohonan mesti cermat dan hati-hati dalam merumuskan permohonan ini. Sebab, ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan ini merupakan aturan lex spesialis (khusus) yang sengaja dibuat pembentuk undang-undang.
 
“Misalnya, aturan sanksi pidana anak dengan mengembalikan kepada orang tuanya dalam UU Pengadilan Anak merupakan lex spesialis yang tidak ditemukan dalam KUHP dan ini dibenarkan,” ujarnya mengingatkan. 
 
Selanjutnya, majelis panel memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari kerja.    

'Pasal 30 ayat (1) huruf d itu telah memberi kewenangan jaksa merangkap sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu.