Mengenai Saya

Foto saya
Sabang, Aceh, Indonesia
Jekso Ronggo Ardhi, S.H. (Kasubbag) Aglamau Dudi Alexander, S.H. (Staf) Iskandar Zulkarnaen, S.H. (Staf)

Senin, 13 Februari 2012

Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian?

Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).
 
Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
 
Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
(a)   Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b)   Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c)   Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d)   Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e)   Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f)    Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
(g)   Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan
(h)   Merendahkan harkat dan martabat manusia
 
Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a)   penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
(b)   penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(c)   pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(d)   penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
(e)   korupsi dan menerima suap;
(f)    menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g)   penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
(h)   perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
(i)     melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
(j)     menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
 
Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
(a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
(b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang;
(c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laboran hasil penyelidikan;
(e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
(f)    melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara.
 
Berdasarkan keseluruhan peraturan ini tentunya diharapkan bahwa setiap anggota kepolisian dapat bertindak sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia.
 
Demikian jawaban kami, terima kasih.
 
Dasar hukum:
4.      Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
5.      Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Jangka Waktu Penyerahan Terdakwa dari Kejaksaan ke Pengadilan

1.      Hukum acara yang berlaku di peradilan pidana Indonesia secara umum diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Sebelum menjelaskan lebih lanjut, ada baiknya kami perjelas terlebih dahulu mengenai definisi tersangka dan terdakwa. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sedangkan terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (lihat Pasal 1 angka 14 dan angka 15 KUHAP). Jadi, status tersangka baru berubah menjadi terdakwa saat seorang tersangka telah dituntut di muka pengadilan.

Selanjutnya mengenai jaksa, dalam KUHAP disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang, antara lain untuk bertindak sebagai penuntut umum yaitu untuk melakukan penuntutan (lihat Pasal 1 angka 6 KUHAP). Dalam Pasal 14 huruf e KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang yang di antaranya adalah untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Terkait dengan kewenangannya itu, penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (lihat Pasal 137 KUHAP).

Pengalihan perkara ke pengadilan ini dilakukan setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Kemudian, penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (lihat Pasal 139 KUHAP). Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan tersebut dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (lihat Pasal 140 ayat [1] KUHAP). Setelah surat dakwaan dibuat, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan (lihat Pasal 143 ayat [1] KUHAP).

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (hal. 390) menyebutkan bahwa:

pada prinsipnya, instansi lain tidak dibenarkan menghadapkan dan mendakwa seseorang terdakwa kepada hakim di muka sidang pengadilan. Akan tetapi tentu terhadap prinsip umum ini terdapat pengecualian, pada pemeriksaan tindak pidana acara ringan dan acara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 205 ayat [2] dan Pasal 212). Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan seperti yang sudah pernah dijelaskan, penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan dan mendakwa terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan (Pasal 205 ayat [2]). Demikian juga pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik langsung menghadapkan terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan. Namun, demikian kedua pengecualian di atas, tidak mengurangi arti prinsip bahwa hanya jaksa yang berhak menghadapkan dan mendakwa seseorang terdakwa yang melakukan tindak pidana kepada hakim di muka sidang pengadilan.

2.                  Mengenai jangka waktu penyerahan perkara pidana umum dari kejaksaan ke pengadilan tidaklah ditentukan oleh KUHAP. Akan tetapi, ada jangka waktu penahanan yang boleh dilakukan oleh penuntut umum yaitu berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan setelah waktu 50 (lima puluh) hari, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum (lihat Pasal 25 KUHAP). Sehingga, dalam hal penuntut umum belum melimpahkan perkara ke pengadilan dan telah melewati jangka waktu tersebut, tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Berbeda halnya dengan tindak pidana di bidang korupsi, di mana penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri (lihat Pasal 52 ayat [1] UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “UU KPK”). Khusus mengenai Penuntut di sini adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 51 ayat [1] UU KPK).

3.                  Mohon maaf, kami tidak menyediakan contoh berkas penyerahan perkara ke pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Syarat-syarat Penangguhan Penahanan

Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat ketentuan yang mengaturnya dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,  (“KUHAP”) yang berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
a.        Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
b.        Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
c.        Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 215) menjelaskan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor ini merupakan “dasar” atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan, dilakukan “tanpa syarat”, sehingga tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Menurut Yahya, penetapan syarat ini merupakan conditio sine quanon dalam pemberian penangguhan. Sehingga, tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:
-           wajib lapor;
-           tidak keluar rumah;
-           tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari, satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar rumah maupun tidak keluar kota.

Lebih jauh, dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP diatur bahwa dalam permintaan penangguhan penahanan, ada jaminan yang disyaratkan yang bisa berupa:
1.        Jaminan Uang (Pasal 35).
-      Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri.
-      Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
-      Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan instansi yang bersangkutan.
-      Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983. Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.
-      Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.

2.        Jaminan Orang (Pasal 36).
-      Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan tahanan.
-      Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
-      Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
-      Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan” (apabila tersangka/terdakwa melarikan diri).
-      Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin.

Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
a.      Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;
b.      Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
c.      Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
d.      Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

Jadi, untuk seseorang tersangka/terdakwa dapat ditangguhkan penahanannya, perlu dipenuhi syarat-syarat dan ada jaminan yang harus diberikan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Namun, hal-hal yang disebutkan di atas adalah dalam ranah normatif dan dapat berbeda dengan praktiknya di lapangan. Pada praktik di lapangan, seperti ditulis dalam artikel Penangguhan Penahanan Dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas, penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa dengan jaminan uang sangat berbeda dari yang diatur di dalam KUHAP serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Misalnya saja, pihak panitera pengadilan negeri tidak pernah memberikan tanda terima atas penyerahan uang jaminan yang diberikan pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu, seperti dikatakan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dikutip dalam artikel tersebut, uang jaminan atas penangguhan penahanan yang diberikan sebelumnya, seringkali tidak pernah dikembalikan kepada pihak yang memberikannya meski terdakwa kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983

Merasa Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan

1.      Pada dasarnya, tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum, bahkan untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan perkara, misalnya untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (lihat Pasal 60 jo Pasal 61 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo Pasal 37 PP No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (“PP 58/1999”)).

Bila, teman Anda tidak diberikan haknya untuk menerima kunjungan dari keluarganya, hal ini merupakan pelanggaran hukum, dan terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini, teman Anda dapat menyampaikan keluhan pada Komisi Kepolisian Nasional (lihat Pasal 4 huruf c Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional).

2.      Mengutip penjelasan PP 58/1999, dikatakan bahwa penahanan atas diri pelaku tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Setiap penahanan dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penempatan tahanan di Rutan/Cabang Rutan atau Lapas/Cabang Lapas di tempat tertentu merupakan rangkaian proses pemidanaan yang diawali dengan proses penyidikan, seterusnya dilanjutkan dengan proses peruntutan dan pemeriksaan perkara di Sidang Pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu, tidak seharusnya tahanan dikenakan biaya atas penahanannya di kamar tahanan.

Terkait dengan adanya pungutan liar (pungli) ini, teman Anda berhak menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas yang melakukan pungli ini kepada Kepala Rumah Tahanan (Rutan) tersebut baik secara lisan maupun tulisan (lihat Pasal 34 PP 58/1999).

3.      Berdasarkan KUHAP dan PP 58/1999, hak-hak tahanan antara lain adalah:
1.      Menghubungi dan didampingi pengacara.
2.      Segera diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan.
3.      Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
4.      Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan.
5.      Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
6.      Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
7.      Mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara.
8.      Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
9.      Bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.
Lebih jauh simak artikel Perbedaan Tersangka dan Terpidana.

Ditegaskan pula dalam Pasal 52 jo Pasal 117 ayat (1) KUHAP bahwa keterangan tersangka harus diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun agar mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya. Wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka dalam pemeriksaan. Sehingga, dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas jelas bahwa setiap tersangka yang diperiksa polisi tidak boleh disiksa secara fisik maupun psikis, seperti diintimidasi atau ditakut-takuti.

Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian juga diatur dalam Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).

Sebagaimana dijelaskan Direktur PBH Peradi Anggara dalam artikel jawabannya Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian?, dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
(a) Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d) Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f)   Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
(g) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan
(h) Merendahkan harkat dan martabat manusia

Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a) penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
(b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(c) pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(d) penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
(e) korupsi dan menerima suap;
(f)    menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g) penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
(h) perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
(i)     melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
(j)    menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan

Terkait dengan pemeriksaan yang sarat tekanan dan paksaan ini, Mahkamah Agung pernah memutus bahwa keterangan yang diperoleh dengan paksaan dan tekanan ini menjadi tidak bernilai dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan yakni dalam Putusan MA Nomor 2588 K/PID.SUS/2010 Tahun 1970 dengan terdakwa Frengki di mana dalam Berita Acara Pemeriksaan (Tersangka) oleh terjadi penganiayaan dan ancaman dengan pistol oleh Penyidik. Selain itu, MA juga pernah mengeluarkan Putusan di mana keterangan saksi yang diperoleh di bawah tekanan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di Pengadilan yaitu Putusan MA No. 1531 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Ket San alias Chong Ket.

Untuk membuktikan bahwa teman Anda tidak bersalah, proses hukum tetap harus dilalui sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi, memang teman Anda tidak bisa serta merta dibebaskan sebelum yang bersangkutan terbukti tidak bersalah di pengadilan.

Demikian  dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional;
4.      Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
5.      Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Putusan:

Jumat, 10 Februari 2012

Pengurusan Harta Kekayaan Anak yang Belum Dewasa

Cth Kasus :
Bagaimana jika ada seorang suami istri yang menikah tanpa surat kawin, lalu memiliki anak. Dan berjalannya waktu, sang ayah membeli rumah atas nama istri, (padahal dari uang si ayah) dan kemudian, rumah tersebut dijual. Lalu suami istri itu bertengkar dan bercerai (sudah tidak serumah) lalu di bank, uang penjualan rumah tersebut ditransfer kepada anaknya yang laki-laki yang berumur 20 tahun (seluruhnya). Apakah sang ibu bisa meminta uang itu kembali dari anaknya? Dasar hukumnya apa?


Dari apa yang Anda ceritakan, saya bisa jelaskan sebagai berikut :

Perkawinan yang diakui secara sah menurut hukum harus dilangsungkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yakni:
“Pasal 2
1)    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
2)     Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa setiap perkawinan yang dilangsungkan, harus dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, serta dicatatkan berdasarkan peraturan yang berlaku.

Kemudian Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (“PP 9/1975”), menyatakan bahwa :
“Pasal 11
1)     Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 peraturan pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasar ketentuan yang berlaku
2)     Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya
3)     Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi

Konsekuensinya, apabila sebuah perkawinan tidak dicatatkan berdasarkan peraturan yang berlaku maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, atau dengan kata lain dianggap tidak pernah terjadi perkawinan. Dengan demikian, dari kronologis yang Anda ceritakan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi perkawinan menurut hukum di antara mereka. Hal ini disebabkan karena tidak adanya akta perkawinan sebagai syarat pencatatan perkawinan secara resmi.

Hal ini juga akan berimbas pada status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak resmi tersebut. Yaitu, anak yang lahir dari perkawinan tersebut hanya akan memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya serta keluarga ibunya, tapi tidak dengan ayah biologisnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi:

“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Sekarang, kami akan jelaskan mengenai bisa atau tidaknya pihak ibu meminta uang hasil penjualan rumah yang berada di rekening anaknya. Berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“Burgerlijk Wetboek/BW”), seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum pernah kawin sebelumnya, dianggap sebagai orang yang belum dewasa, sehingga dengan demikian ia dianggap tidak cakap dalam melakukan tindakan hukum secara perdata (Pasal 1329 BW jo 1330 BW). Namun apabila anak tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun, maka dia telah dianggap sebagai orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum.

Usia anak memang berbeda di berbagai undang-undang, seperti misalnya undang-undang perkawinan yang mengatur batas usia anak yang mesti diwakili orang tua ialah 18 tahun (Pasal 47 UU Perkawinan) ataupun UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 1 angka 1) serta UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 26) yang mengatur usia anak ialah 18 tahun. Namun, ketentuan yang secara tegas mengatur definisi hukum dari usia “dewasa” ialah Pasal 330 BW jo. Pasal 1330 BW. Ketentuan tersebut jugalah yang mengatur mengenai syarat-syarat kecakapan untuk bertindak melakukan perikatan, sehingga harus diasumsikan dalam cerita ini bahwa dalam hal untuk melakukan perikatan dengan pihak bank, haruslah diwakili oleh pihak yang cakap menurut hukum perdata.

Bagi pihak yang dianggap tidak cakap dalam melakukan tindakan hukum perdata ini, undang-undang mensyaratkan adanya perwakilan untuk mewakili pihak yang tidak cakap ini dalam melakukan tindakan hukum, yakni orang tua, wali ataupun pengampu (curatele/curator). Dan terhadap pihak yang belum dewasa sesuai dengan ketentuan Pasal 330 BW, berlaku ketentuan Pasal 307 BW untuk diterapkan yakni, “…setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap seorang anak belum dewasa, harus mengurus harta kekayaan anak itu…”

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pihak orang tua lah (dalam kasus ini sang ibu) yang berhak untuk mengurus harta kekayaan yang dimiliki oleh anak tersebut, karena anak tersebut masih digolongkan sebagai pihak yang belum dewasa dan tidak cakap menurut ketentuan hukum perdata.

Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga bisa membantu menjawab permasalahan Anda.

Terima kasih.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Senin, 06 Februari 2012

Kenapa Pelaku Tindak Pidana Ringan Tidak Ditahan?

Sebelumnya, perlu kami perjelas dulu makna dari “dihukum penjara” dengan “ditahan” atau “dilakukan penahanan”. Seseorang yang dihukum penjara berarti terhadap orang tersebut telah dilakukan proses peradilan, statusnya telah menjadi terdakwa, kemudian orang tersebut terbukti bersalah sehingga dijatuhi hukuman penjara oleh majelis hakim. Lebih jauh simak Perbedaan Hak Tersangka dan Terpidana.

Berbeda halnya dengan penahanan. Penahanan dapat dilakukan bahkan mulai dari sebelum proses persidangan dimulai. Sesuai Pasal 21 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) disebutkan:


Pasal 21
(1).   Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;
(2).   Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan;
(3).   Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya;
(4).   Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a)   tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b)   tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Selanjutnya, kami tidak mempunyai data ataupun informasi mengenai apakah benar tindak pidana ringan (tipiring) jarang dilanjutkan ke pengadilan. Namun, untuk mengetahui kapan seseorang ditetapkan sebagai tersangka silakan simak artikel Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah RI dan sebagai referensi, baca juga artikel Pelaku Tindak Pidana yang Tertangkap Tangan Akan Langsung Dipidana?

Kemudian, mengenai mengapa terhadap pelaku tipiring tidak dilakukan penahanan,  mengutip penjelasan M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” (2003: 422), dinyatakan tindak pidana ringan (tipiring) ditentukan berdasarkan “ancaman pidananya”. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP yakni :
a.      tindak pidana yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan;
b.      atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500,- dan
c.      “penghinaan ringan” yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.

Jika ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP ini kemudian dikaitkan dengan ketentuan terkait penahanan pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang antara lain menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap pelaku tipiring yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan memang tidak dilakukan penahanan.

Demikian penjelasan dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);